home about project archives id place




















DIAGNOSIS SENI

oleh: IACC ADMIN | Seni Rupa | 3 Tahun lalu

Oleh: Hari Prayitno

Tulisan ini sebagai metode yang diperuntukkan bagi seseorang yang hendak mencipta, diperuntukkan bagi sang kreator. Bukan sekadar seniman, melainkan bagi seniman kreator dan jelas bukan diperuntukkan bagi penulis seni ataupun pengkaji seni. Sehingga kata yang digunakan untuk mewakili cara menelaah adalah “diagnosis” bukan “analisis”.

Kata seniman, pertama menunjuk pada seseorang yang membuat atau mencipta karya seni, artinya kata ini mengalami ambigu yang mana seniman adalah hanyalah seorang pembuat karya seni bersifat praktis, dan kata “pembuat”, sering dikonotasikan sebagai membuat saja tanpa ada suatu perkembangan atau tanpa ada suatu kreativitas yang memadai. Mungkin kata ini saya padankan dengan kata “pengrajin”, bila itu dilekatkan pada seniman (pelukis) bisa berarti dia hanyalah berkebutuhan bahwa melukis demi menyokong kebutuhan finansial kehidupannya, lain kata seniman (pelukis) adalah pembuat sekaligus pedagang lukisan.

Seniman dalam arti kedua adalah seorang kreator, seorang pembaharu nilai yang memunculkan makna lewat kekaryaan seninya, seniman ini berkegiatan sebagai “pencipta”; menciptakan nilai-nilai baru di bidangnya. Bila dia seniman (visual) maka dia akan menyodorkan nilai-nilai yang menantang konvensi mengenai seni sebelumnya, sehingga apa yang disampaikan biasanya menjadi dilema, pergunjingan yang cenderung bermakna negatif karena memang sang kreator menawarkan “pembahasan baru” yang belum dipahami oleh publik, ataupun sangat sedikit yang mau mengerti. Tulisan ini diperuntukkan bagi sang kreator, lebih lanjut tentu yang memiliki keberanian, kesungguhan, bersifat provokatif dan subversif yang itu bukan sekadar kekaryaannya saja melainkan hal itu juga sebagai lelaku, sifat-sikap di dalam mengatasi waktu dalam berkehidupan.

Selayang Pandang
Kata seniman memiliki dua pemaknaan yang mana bila ditilik dari epeistemologinya berangkat dari hal yang berbeda. Kata seniman pertama adalah berkonotasi sebagai pembuat seni untuk kebutuhan memperdagangkan; berarti sifat kekaryaannya adalah mengikuti selera pasar atau menjawab tantangan pasar. Seniman kreator berkonotasi sebagai pencipta; pembuat kebaharuan nilai bahwa apa yang dikerjakannya menghasilkan “kebaharuan” seni.

Tulisan ini berangkat dari bagaimana identitas dan kepribadian diri selama dipahami hanya sebagai suatu yang statis, bersifat instrumental dan kebendaan belaka, apa yang dikerjakan oleh seorang kreator bukan terletak pada an sich kekaryaannya itu saja melainkan bermakna kiasan, metafor, simbol ataupun alegori. Sehingga bertujuan mencipta kebaharuan terjebak pada bagaimana juga harus bisa menerangkan dengan menggunakan bahasa sebagai konsensus komunikasi. Seni bukanlah bahasa ibu kemanusiaan yang serta merta harus bisa langsung dipahami maknanya. Bahasa seni memang harus diajarkan, diterangkan nilai dan maknanya kepada publik dalam arti menekan ataupun bahkan menteror yang tentu memiliki “keindahan” sifat dan kepadatan dari karya seni yang diperjuangkannya.

Di bawah ini akan dijelaskan bagaimana metode kebenaran dari teori Nietzsche dijadikan sebuah metode bagi penciptaan yang seharusnya diterapkan bagi sang kreator untuk tidak memasuki ranah metafora kedua yang menjadikan kekaryaan itu sebagai kata-bahasa sebagai komunikasi, sebagai konsensus yang disepakati bersama. Seni mengajarkan kreativitas, kreatif adalah membuka peluang, bila berarti membuka peluang maka jangan menamai seni sebagai seni yang itu, kalau terdapat nama berarti dibatasi oleh kategori tertentu; artinya sebagai berhala. Membuka peluang bagi saya adalah membiarkan kebenaran atau realitas yang ada itu sebagaimana adanya memiliki rahasia dan melalui perspektif apapun.

Metode Diagnosis, Teori Metafora
Kata diagnosis biasanya digunakan oleh dokter untuk mengetuk-ketuk bagian badan pasien dengan ujung jari (palu kecil), cara mengetahui sejauh mana sakit yang diderita pasien. Saya gunakan kata diagnosis ini tidak ubahnya Nietzsche mendiagnosis kebenaran. Mengapa tidak digunakan kata “analisis”, karena pengertian analisis adalah tindakan ingin mengetahui menggunakan fakta sebagai bahan analisis dan bahasa sebagai alatnya, sementara fakta adalah nonsense kecuali interpretasi. Bahasa terkontaminasi oleh konstruk-konstruk metode reduksi positivistik dalam sistem komunikasi untuk menyatakan realitas. Artinya bahasa akan jauh berbeda dengan realitas seni atau kebenaran seni yang kita pahami menjadi abstraksi penyederhanaan dan justru mengaburkannya.
Proses terjadinya diagnosis pertama-tama kita mengindera realitas seni atau kebenaran seni sebagai objek yang dituju atau sebagai rangsangan sensasi yang kemudian proses dilanjutkan menuju atau penginderaan tadi meneruskan ke rangsangan syaraf dialihkan menjadi gambaran atau imaji, disini terjadi apa yang dinamakannya sebagai Metafora Pertama. Bagi kreator seni proses metafora jangan dilanjutkan ke metafora kedua, karena pada Metafora Kedua adalah proses gambaran dijadikan sebuah suara, kata, ataupun bahkan bahasa. Perlu diketahui di dalam tiap proses metafora terjadi lompatan dari satu ranah ke ranah yang lain yang berbeda dan baru. Maka dari itu jangan diteruskan menuju ke proses kedua yaitu reduksi atau generalisasi yang akan menghasilkan amat jauh dari sensasi.

Menghindari Kata dan Konsep Indah atau Buruk
Kata indah atau buruk adalah kualitas yang sama-sama memuncak di sisi yang berseberangan bagi perasaan. Dualisme kata “indah” mewakili di atas ataupun hal menyenangkan sementara kata “buruk” mengisyaratkan hal di bawah yaitu perasaan yang tidak menyenangkan. Karena bagi saya baik yang indah ataupun yang buruk adalah akan menjebak, memerosokkan kita ke dalam hal yang membuat orang akan terlena atau melupakan realitas kebenaran seni bahwa “indah” atau “buruk” sebagai hal ilusi yang justru bagi manusia secara umum sebagai hal mutlak yang menutup kemungkinan terhadap hal yang memungkinkan sebagai ruang keterjagaan rasa yang bukan jatuh pada bahasa yang bersifat komunikasi linguistic atau tatabahasa, walau seni juga adalah sebentuk komunikasi, melainkan komunikasi seni bukan bersifat secara kognitif (akal) melainkan instings (rasa).

Penangkapan realitas kebenaran seni yang awal yang hendak diekspresikan yang bermula dari sensasi mengalami proses. Di dalam metode pengungkapan kebenaran adalah ilusinya Nietzsche terdapat dua proses, yaitu proses metafora pertama dan metafora proses kedua. Di dalam proses ini terdapat kata kunci pertama rangsangan syaraf, kedua gambaran mental (imaji). Cukupkan bagi seniman kreator untuk mewujudkannya di sini dan jangan sampai berlanjut menuju kata-bahasa. Misalkan kita sedang mengalami sensasi menikmati sebuah realitas keindahan atau buruknya objek atau situasi, maka jangan tergesa untuk menyatakan dengan kata “indah!” (ataupun “buruk”), simpan kata “indah/ buruk” lalu sublimkan, telan-tahan dan rasakan lagi seberapa “keindahan dan mungkin buruknya realitas objek yang kita tangkap sebagai sensasi, lalu ekspresikan lewat karya seni”.

Bila realitas yang ditangkap tadi terlanjur sudah berbentuk atau diekspresikan menjadi kata-bahasa “indah atau buruk” maka akan juga tertangkap bahwa realitas objek kita peroleh sebagai sensasi tadi menjadikan kita terobsesi dan bersifat umum, “rasa indah atau buruk” itu hanya akan digeneralisir, hanya menjadi atau sudah terwakili oleh kata-bahasa “indah ataupun buruk”, padahal kita tahu bahwa “rasa sensasi” yang masing-masing orang terima tentunya sebanyak manusia yang merasakan di realitas objek dan situasi tadi tidak dengan serta merta cukup di dalam satu ekspresi yang digeneralisasi menjadi hanya “indah atau buruk saja”. Karena kata “indah atau buruk” mengisyaratkan gambaran obsesi serta disepakati di dalam bahasa bahwa kata “indah atau buruk” telah dibakukan sebagai konsensus untuk mewakili sensasi realitas sebagai obsesi, seperti keindahan-keburukan yang lain, padahal kita merasa terobsesi dikarenakan suatu sebab khusus tetapi mengapa hanya bisa direduksi menjadi satu kata “indah atau buruk” saja. Artinya bahwa sensasi “indah atau buruk” memiliki tingkat sebanyak manusia yang mengalaminya, padahal bila itu terdapat 10 orang yang melihat objek estetik yang sama tentunya juga akan memiliki gambaran imaji berjumlah 10 realitas, bukan!?. Perbedaan spesifik akan terletak pada spesifikasi pengalaman, kecenderungan, ideologi manusianya tentu juga memiliki keunikan ekspresi tentang yang indah.

Contoh pembahasaan pada daun, mengenai dedaunan terkadang kita lupa bahwa keragaman daun yang masing-masing memiliki kekhasannya tersendiri tiada beda ke-individu-an manusia karena kekhasan, keunikan, sifat, warna, tebal-tipisnya, teksturnya dan sebagainya yang tentu tidak bisa dibandingkan dengan begitu saja sebagai hal yang reduktif dari yang khusus menuju kepada yang umum terbakukan.

Masalahnya ketika kita sudah terbiasa dengan konsep yang sudah baku tadi tentang kata “indah atau buruk”, maka kita akan terbatas hanya pada konsep itu sehingga kita lupa bahwa hidup ini selalu baru setiap saatnya. Kita lupa bahwa konsep hanya metafora ilusif, perspektivis ataupun sewenang-wenang. Sehingga kita tidak akan bertemu dengan realitas seni secara esensial kecuali hanya merinci seni di dalam format konsep seni, sejarah, sosiologi, ataupun filsafat sebagai kebenaran yang tautologi (kebenaran hanya berkutat dan mbulet pada kebenaran tentang seni menurut konsep seni yang sudah ada; sejarah; sosiologi; ataupun filsafat) dan tidak akan menemukan sesuatu yang esensial dan baru terhadap seni.

Estetika Perspektif
Di sini memang digunakan kata estetika perspektif yang artinya bahwa estetika ini akan mendukung “seni entah” yang kerangka pikirnya bahwa seni berangkat dari sang kreator bukan seni, tidak mudah untuk dijelaskan secara kognitif melainkan intuitif. Bila berangkat dari perspektif estetika maka seni nanti yang akan dibangun adalah seni-seni yang merujuk pada konsep estetika konvensional artinya bahwa seninya bukan seni entah melainkan seni yang sudah memiliki nama, memiliki kategori sejajar dengan bahasa sebagai komunikasi; sebagai konsensus.

Sementara seni entah adalah seni yang belum terkategori, kata lainnya bila proses terjadinya pengetahuan itu hanya tahap di metafora pertama yang belum memasuki tahap metafora kedua, walau estetika perspektif juga bersifat ilusif, abstrak tapi bukan berarti tanpa objek sebagai sarananya. Estetetika perspektif wujudnya bisa apa saja, mungkin instalasi, tidak seperti fine art yang memiliki kategori lukis, patung ataupun grafis. Wujudnya tetap memiliki kepadatan, sifat, atau apapun yang bersifat objek tidak beda pada objektivitas; realitas objektif tetapi kepadatan, sifat yang ditimbulkan bukanlah sekadar realitas objektif melainkan disemangati oleh realitas imajinasi menahan kerinduan. Dan seniman kreatornya adalah seorang yang memiliki moral yang kuat yaitu terbuka menerima kritik demi kemungkinan bahwa seni entah memang sedang menjadi.

Silakan baca lagi Seni Entah:
https://www.facebook.com/hari.prajitno/posts/10214668312436587