home about project archives id place




















Perempuan Pejuang Literasi dari Kota Hujan

oleh: IACC ADMIN | Seni Sastra | 8 Tahun lalu

Oleh, Ginan Aulia Rahman


17 April, 2014

Di saat orang-orang mengeluhkan begitu gelapnya minat baca anak-anak dan remaja, tanpa banyak kata dan bicara, Seorang perempuan dari Desa Barengkok menyalakan lilin penerang budaya literasi di kampung halamannya. Bersama kawan-kawannya ia membentuk sebuah Komunitas Pasar Sastra Leuwiliang, sebuah komunitas yang bergerak di bidang literasi. Hingga saat ini, komunitas tersebut telah melakukan kegiatan-kegiatan bermanfaat untuk masyarakat.Menyebarkan minat dan gairah membaca dan menulis bagi anak, remaja, pelajar, mahasiswa, dan warga.Ia percaya kemajuan sebuah daerah dimulai dari kemajuan budaya literasi.

Tulisan ini akan menceritakan kisah perjuangan seorang Betta Anugrah Setiani, Lulusan S1 Program Studi Pendidikan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia, Staf pengajar di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Muhammadiyah Leuwiliang, Aktivis perempuan dalam bidang literasi dan sastra, Pemilik Penerbit Kapas. tulisan ini berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Betta Anugrah Setiani.


Aktif Sejak di Kampus

Betta adalah mahasiswi yang berprestasi secara akademis, terbukti dengan predikat cum laude yang ia raih dari Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia. Selain itu ia pun aktif di himpunan mahasiswa jurusan pendidikan bahasa indonesia dan Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI. Betta mengembangkan diri dan kemampuannya melalui kegiatan di himpunan dan UKSK UPI.Beberapa kali menjadi narasumber dan moderator acara-acara seminar di kampus.Betta juga aktif di Komunitas Penulis Perempuan Indonesia (KPPI).

Menurut Betta, sebagai seorang mahasiswi, berprestasi di bidang akademik itu baik tapi lebih baik lagi jika memanfaatkan waktu selama berkuliah dengan mengikuti berbagai organisasi dan kegiatan ekstra kelas yang sesuai dengan minat dan bakat, karena organisasi dan kegiatan ekstra tersebut akan memberikan softskill yang sangat dibutuhkan ketika kita terjun ke masyarakat seperti kemampuan berkomunikasi, bersosialisasi dengan orang banyak, dan perencanaan dan eksekusinya.

Betta pun ikut turun ke jalan untuk mengadvokasi teman-temannya yang kekurangan biaya untuk kuliah, membela hak teman-temannya yang dicutipaksakan oleh pihak kampus karena terlambat membayar uang semesteran. Betta berujuk rasa tidak dengan aksi yang brutal seperti mahasiswa-mahasiswa yang biasa kita lihat di media, Betta menggunakan seni, aksi teaetrikal, puisi, dan prosa, ia juga menulis di buletin dan surat kabar. Menurutnya demo bukan hal yang negatif jika kita melakukannya dengan cara yang berpendidikan dan intelek, justru itulah tugas dan peran mahasiswa, mengingatkan orang yang lalai menegakkan keadilan.

Berunjuk rasa pada hari Buruh, hari Kartini, hari Pendidikan Nasional pernah dilakoni oleh Betta.Seperti kata Milan Kundera, perjuangan meneggakkan keadilan adalah perjuangan untuk menolak lupa.Mahasiswa sebagai intelektual organik yang memiliki jiwa kritis harus terus menyuarakan keadilan, tentu tidak hanya dengan berunjuk rasa, tapi juga dengan aksi nyata.Betta melakukan keduanya semasa kuliah. Betta berunjuk rasa pada hati buruh sedunia

Betta selama 6 bulan melakukan Program kerja Lapangan di SMAN 1 Bandung mengajar pelajaran bahasa Indonesia.ia datang tidak hanya untuk menunaikan tugas mengajar saja, tapi juga menorehkan prestasi di SMAN 1 Bandung tersebut, anak binaannya meraih juara dua Lomba karya Tulis Ilmiah tingkat Jawa Barat. Gaya mengajarnya yang penuh semangat dan kata-katanya yang tegas serta puitis telah menyihir pelajar SMAN 1 Bandung untuk giat belajar dan meraih prestasi.


Betta dan Komunitas Pasar Sastra Leuwiliang

Betta bertemu dengan Iqbal Tawakal dan Fahmi Reza, dua pemuda yang memiliki keresahan yang sama degan Betta. Kampung halaman mereka bertiga sangat jauh dari budaya membaca dan menulis.Mereka menganalisis dan akhirnya menemukan jawaban atas rendahnya minat literasi di Leuwiliang. Di Leuwiliang belum ada toko buku, belum memiliki perpustakaan yang nyaman dengan koleksi yang beragam dan lengkap, kurangnya kesadaran akan pentingnya sastra bagi masyarakat.

Mengapa sastra penting bagi masyarakat? Betta berpendapat; sastra mendidik kita untuk peka dan menumbuhkan rasa tanggung jawab pada diri manusia, melalui sastra kita memperdalam pengalaman dan mempercepat kebijaksanaan serta proses kedewasaan. Saat ini krisis moral terjadi di mana-mana, hal ini sebabnya adalah kurangnya kebijaksanaan setiap individu.Dengan bersastra, manusia mengeluarkan rasa, pikiran, renungan hasil kontemplasi makna lalu kemudian bertanggung jawab atas karyanya.Nilai kepekaan, kebijaksanaan, dan rasa tanggung jawablah yang ingin Betta bangun untuk kampung halamannya, dan Betta yakin sastra adalah senjata ampuh untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut.

Setelah berkumpul beberapa kali dengan Iqbal dan Fahmi, mereka berniat untuk membentuk sebuah komunitas pecinta sastra yang memiliki taman bacaan masyarakat, toko buku, penerbitan, dan wadah diskusi ilmiah untuk semua kalangan. Mimpi yang sangat besar bagi 3 orang pemudi-pemuda yang saat itu tidak memiliki sepeser pun dana. Diawali dengan mengeluarkan uang dari saku pribadi, komunitas ini bisa berjalan.

Kompleks pertokoan ATC (Area Trade Center) Leuwiliang menjadi sekretariat Komunitas Pasar Sastra Leuwiliang (KPSL).Betta dan kawan-kawan mengajak teman kuliah, pelajar SMA setempat, dan orang umum untuk bergabung di KPSL. Para anggota KPSL menyumbangkan buku-bukunya untuk dijadikan taman bacaan masyarakat. Lalu tim KPSL membuat proposal permintaan donasi buku, hasilnya, Beberapa penyair memberikan bantuan berupa buku untuk melengkapi koleksi dari taman bacaan KPSL, salah satu penyumbangnya penyair Hannah Fransiska. Dan bantuan akhirnya datang dari berbagai kalangan sehingga koleksi buku di taman bacaan KPSL semakin lengkap. Para pelajar dan masyarakat umum yang tidak bisa membeli buku karena keterbatasan biaya bisa meminjam di taman bacaan masyarakat KPSL. Setiap bulannya banyak pengunjung yang datang dan meminjam buku di KPSL.

KPSL membuat majalah bernama Majalah Lorong, isi dari majalah ini menarik karena mengangkat tema-tema lokal, yaitu tentang Leuwiliang.Dengan majalah ini KPSL hendak merangsang minat baca dan menulis para anggotanya dan masyarakat leuwiliang.Setiap terbitannya Majalah Lorong disebar ke berbagai desa di Kecamatan Leuwiliang.Kemudian tidak berhenti di majalah, KPSL membuat penerbitan resmi sendiri bernama Penerbit Kapas. Hingga saat ini Penerbit Kapas telah menerbitkan 3 buku, 2 buku teks pelajaran Bahasa Indonesia untuk perguruan tinggi dan 1 novel. Ketika ditanya mengenai alasannya membuat penerbitan sendiri, Betta menjawab; seringkali orang memiliki hasrat menulis yang besar tapi tidak memiliki kesempatan untuk menerbitkan karyanya karena penerbit mayor menolak naskah penulis pemula karena pertimbangan pasar dan penjualan. Penerbit Kapas menampung karya-karya masyarakat leuwiliang dan semua kalangan. Ini penting untuk menggugah keinginan untuk berkarya dan mencegah padamnya semangat penulis-penulis hebat masa depan.

Diskusi setiap hari sabtu menjadi kegiatan rutin KPSL.Biasanya mendatangkan narasumber yang menjadi pakar di bidangnya.Berbagai tema dibahas dalam diskusi rutin ini.KPSL pun mengadakan workshop penulisan untuk para pelajar sekolah di Kecamatan Leuwiliang, roadshow ke beberapa sekolah untuk menebarkan semangat membaca agar para pelajar memiliki wawasan yang luas dan rasa ingin tahu yang besar.Semua dilakukan tanpa pungutan biaya, secara sukarela anggota KPSL memberikan inspirasi untuk para pelajar. Diskusi Sabtuan KPSL

Selain itu KPSL mengadakan juga perlombaan unik yang diberi nama Itik Cup. Lomba menulis dan membaca puisi bagi masyarakat Leuwiliang dan lomba mewarnai bagi anak-anak.Ibu-ibu menulis puisinya sendiri lalu dibacakan di hadapan banyak orang, kepala desa pun ikut berpartisipasi, remaja, dan pelajar.Pemenang dari lomba ini mendapatkan hadiah seekor itik.Dengan kegiatan ini sastra menjadi dekat dengan masyarakat dikemas dengan kegiatan yang menyenangkan.

Setiap bulan Oktober KPSL mengadakan acara Gelar budaya Sastra untuk memperingati bulan bahasa Indonesia.acaranya berupa seminar terbuka yang bisa dihadiri oleh siapa saja di Leuwiliang. Pada 20 April 2014 ini, dalam rangka memperingati hari Kartini, KPSL mengadakan acara bernama Mimbar Sastra Bogor 2014. Acara ini akan menyajikan Seminar Sastra dan Pergerakan Perempuan, bersama Khrisna Pabichara (Bogor-Kritikus Sastra; Penulis novel biografi mega bestseller "Sepatu Dahlan") & Ratna Ayu Budhiarti (Bali-Penulis; Peraih Woman and Culture Good Houskeeping Indonesia Magazine 2013) dan Peluncuran Buku Antologi Puisi Penyair Bogor "Bogor dalam Komposisi", bersama Mugya Syahreza Santosa (Bandung-Sastrawan; Alumni Majelis Sastra Asia Tenggara). Acara Mimbar Sastra ini akan dilaksanakan di Balai Kota Bogor. Ini sebuah prestasi yang membanggakan bagi KPSL, karena menurut sejarah yang tercatat di Pemerintahan Kota Bogor, acara serupa Mimbar Sastra Bogor 2014 ini terakhir kali diselenggarakan pada tahun 1986.

Pencapaian sukses KPSL tidak didapatkan dengan mudah, tapi dengan tetesan keringat dan lelah yang mendera para anggotanya. Keterbatasan dana menjadi halangan untuk menyelenggarakan acara. Betta mengandalkan kegigihan dan semangat juang dirinya dan anggotanya. Kesulitan pasti akan datang, kesulitan itu akan menjadi ujian bagi kita. yang penting adalah komitmen dan melakukan semuanya dengan ketulusan serta rasa cinta.


Betta dan Pemikirannya mengenai Perempuan

Bulan Maret lalu Betta membacakan puisi dalam acara Pekan Perayaan Hari Perempuan International bertema Malam Budaya Untuk Perempuan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki. Di bulan yang sama Betta masuk pada rubrik Female Harian Radar Bogor. Lalu, apa pendapat Betta mengenai perempuan?

Betta berpendapat perempuan harus memiliki kesempatan yang sama untuk berkarya dan berkarier, jika ada yang menghalangi tentu perlawanan harus dilakukan. Seorang perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan lelaki dan tidak ada perbedaan level serta kualitas kerja, namun, Betta mengakui perempuan memiliki sesuatu yang khas yaitu rahim dan bisa menyusui. Perempuan bisa bekerja dan meraih impian sesuai yang diinginkannya tapi jangan sampai tidak mau melahirkan dan menyusui.Tetap ada kodrat fisik yang tak bisa dinafikan.Justru kemampuan khas perempuan untuk melahirkan dan menyusui anak adalah hal yang patut dibanggakan.Dengan demikian perempuan memang benar adanya sebagai subjek keadilan, kehormatan, dan kemulian. Juga yang paling penting, perempuan melahirkan masa depan.

Mengenai keluarga, Betta berpendapat itu masalah pembagian kerja yang bisa diperbincangkan secara demokratis antara suami istri.tidak harus perempuan selalu di rumah, bisa saja lelaki yang di rumah. Itu sesuai kesepakatan suami istri.Tentu lelaki dan perempuan idealnya memberikan kontribusi untuk sebanyak mungkin orang, memberikan manfaat, dan menebar kebaikan yang memakmurkan.Untuk ini perlu adanya kebebasan untuk mengembangkan diri dan bekerja.

Kekerasan seksual dan diskriminasi pada perempuan menjadi keprihatinan Betta.Betta percaya pemahaman yang baik mengenai agama dan kecerdasan spiritualitas menjadi kunci untuk terhindar dari kedua hal tersebut. Agama mengajarkan kita untuk adil, jauh dari perbuatan yang buruk dan menyakiti orang lain. jangankan bertindak keras, menindas, dan menyiksa, dalam agama islam yang Betta anut, berprasangka buruk kepada orang lain adalah perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan jauh-jauh. Ini penting dipahami, prasangka itu sesuatu yang berada di dalam pikiran dan kita dilarang untuk berprasangka buruk pada orang lain. Dalam pikiran saja sudah tidak boleh buruk kepada orang lain, apalagi melukai fisik dan perasaan orang. Dengan pemahaman ini Betta percaya tidak akan ada kekerasan lelaki kepada perempuan dan sebaliknya.

Harapan Betta terhadap gerakan perempuan adalah lebih banyak lagi perempuan yang berkarya dan menginspirasi perempuan yang lain untuk berkarya. Kesuksesan seorang perempuan akan mempermudah bagi perempuan yang lain untuk mendapatkan kesetaraan dalam kesempatan. Budaya patriarki yang memarginalkan perempuan mesti didobrak dengan bukti bahwa perempuan memiliki kemampuan dan bisa melakukan lebih baik.Menurut penulis, Betta telah berhasil melakukannya.