home about project archives id place




















SALAM DAMAI (IN MEMORIAM SENIMAN DANARTO)

oleh: IACC ADMIN | Sosial Budaya | 5 Tahun lalu

Oleh: Misbach Tamrin

Beberapa hari y.l., saya sempat menulis di FB, artikel dengan judul "PELUKIS MENULIS, ATAU PENULIS MELUKIS?". Nah, Danarto punya bakat, kemampuan dan kekuatan yang seimbang selaku pelukis dan penulis. Jarang, seniman kita yang bisa tampil seperti dia. Dan kita semua tahu, baca dan lihat karya-2 nya di kedua bidang genre seni itu. Memang luar biasa!

Saya sebagai kawan lamanya yang persis seusia (77 th), punya kenangan foto bersama ini. Di saat-2 "pameran berempat" kami (Ng.Sembiring, Isa Hasanda, Subana dan saya sendiri) di Yefferson Library Yogya pada th 1961. Di dalam foto juga ada hadir Djoko Pekik dan Danarto rata-2 berusia muda remaja sekitar 20-an tahun. Terbaur dalam gaul persahabatan yang cukup akrab.

Ketika itu, kami tak menduga atas persahabatan kami itu. Setelah berlanjut dalam fase kristalisasi dalam prosesi sejarah kedepan. Masing-2 kami kemudian memilih persimpangan jalan yang berbeda, meski sekampus ASRI. Danarto, bersama kawan-2nya yang lain seperti Handogo Sukarno, Mulyadi W., Syahwil, Wardoyo dll., dengan diketuai Soenarto PR., mendirikan Sanggar Bambu pada th 1959, yang bernuansa ideologis dan politik : nasionalis! Sedangkan saya bersama Ng. Sembiring, Isa Hasanda, Djoko Pekik, Adrianus Gumelar, Suhardjijo Pudjanadi dll., mendirikan Sanggar Bumi Tarung (SBT) dengan diketuai Amrus Natalsya, di bawah naungan Lekra yang bernuansa "kiri".

Dengan di iklimi atmosfer situasi pertentangan politik yang memanas di antara dikotomi paham blok kapitalis vs sosialis dari "Perang Dingin" global dunia. Persahabatan kami yang guyub terpecah. Bahkan disebuah pertemuan seminar/diskusi antar seniman di gedung Seni Sono Yogya terjadi perdebatan sengit di antara pihak SBT dan Sanggar Bambu (SB). Danarto selaku pembicara dari SB mengeritik secara fokal dan keras terhadap SBT yang dianggap memaksakan kehendak dari paham "kiri" Lekra.

Hingga peristiwa '65 meletus, persahabatan kami semakin terpendam di lubuk jurang pemisah yang dalam. Ketika semua anggota SBT masuk kerangkeng tahanan rezim otoriter Orba dalam waktu tak terukur.

Setelah kami dibebaskan, seiring dengan usainya "Perang Dingin". Tanpa ada lagi pertentangan politik yang tajam di antara sikap-budaya di antara kami masing-2. Aneh, persahabatan lama kami, begitu gampang cair dan cepat dipulihkan. Seolah gesekan yang pernah meruncing tempo hari, tak pernah terjadi. Setelah puluhan tahun tak berjumpa, Danarto dengan gelak tawanya yang khas, tak terlupakan. Kami berangkulan tanda persahabatan kami tetap melekat tak terpupus. Tanpa sedikitpun sehelai permusuhan lama kami yang tersisa. Semuanya telah mencair berjalan kedepan.

Tadi malam, setelah membuka FB, saya melihat berita, Danarto telah berpulang ketika dibawa ke RS Fatmawati. Semua kita tentu selalu terpana dengan hati yang tergetar oleh rasa duka dan sedih jang mendalam atas kepergian seorang kawan.

Bagi saya pribadi, persahabatan dengan kawan sesama seniman dan seusia, seperti seorang Danarto. Persahabatan kami berjalan, dengan diuji melalui gesekan (friksi) permusuhan yang tajam, seakan tak terpulihkan. Namun, persahabatan tetap terpulang kepada kodrat hubungan kebersamaan manusiawi dalam kehidupan yang fana dan alami ini. Di atas lintas perbedaan ideologi, politik dan paham apapun. Semoga almarhum berada dalam haribaan damai yang kekal abadi.....