home about project archives id place




















Taxidi 18

oleh: IACC ADMIN | Portofolio | 3 Tahun lalu

Blue Forest Golden Face Green Nature Harvest
Natural Energy Natural Vibration Rhythim Of Motion The Horison
Wave Of Life Yellow Face  

Taxidi adalah perjalanan. Makna kata dari Yunani ini berdimensi narasi yang meluas dan mengatup, tergantung pemaknaan dan titipan cerita pada kalimatnya. Bukan hanya perihal perjalanan ke terminal yang ingin dituju, tetapi juga penting soal pemaknaan proses selangkah demi selangkah menuju titik pencapaian tersebut.

Karya sastra yang ditulis Wu Chengen sekitar pertengahan Abad Ke-16 yang kemudian populer sebagai bacaan ke seluruh dunia yakni _Journey to The West (Perjalanan ke Barat), di Indonesia dikenal melalui film Kera Sakti yang mendampingi Bhiksu Tong mengambil kitab suci ke barat. Karya ini menceritakan banyak mitologi klasik, pertentangan antara baik dan buruk, cerminan proses manusia memaknai tahapan perjalanan hidup yang saling berhubungan dengan kisah-kisah dewa.

Hitungan awal tahun 2020 yang sedang kita jalani dapat dikatakan dimulainya percakapan tentang usia. Pagi ditaburi rintik gerimis, petang gegap gempita percikan kembang api, di sela-sela Kenyem (I Nyoman Sujana), sahabat saya dengan suara bersemangat menelepon mengutarakan rencana pameran di Bidadari Art Space. Ia meminta saya untuk menuliskan teks kuratorial. Saya langsung bersedia, tetapi bukan menulis tentang kekaryaannya, melainkan pengantar tentang relasi persahabatan yang telah lama terjalin.

Dalam suasana itu, saya malah menerawang satu dasa warsa silam pada sebuah _happening art_ “Apa Ini Apa Itu 2009” di Batu Belah Art Space dan Pantai Lepang, Klungkung. Saat itu Kenyem adalah salah satu seniman yang menunjukkan karya gigantik instalasi bambu bertajuk “Menunggu Angin”, direspons oleh penampilan penari kontemporer Jasmine Okubo dan Diah. Berikutnya properti itu digunakan menjadi bagian dari pertunjukan kolaboratif Nyoman Erawan dan Tisna Sanjaya. Hmm, keterhubungan apa ini, perjalanan-perjalanan yang saling berkait, simpul-simpul saling menjalin, ditata bagai jejaring laba-laba.

Kenyem, terlahir di sebuah desa yang terkurung dengan nekarupa kegiatan berkesenian. Selanjutnya ia menentukan diri menjadi kreator rupa. Dalam konsep Hindu perjalanan manusia dibagi menjadi empat tahapan atau dikenal dengan “Catur Asrama”, konsep yang menyiratkan perjalanan tahap demi tahap kehidupan.

Menjadi empat jenjang pertumbuhan mencakup entitas manusia yang terus mengada seperti fisik mental, kebutuhan psikis serta spiritual yang dilingkupi ruang dan waktu. Disebutkan “Catur Asrama” sebagai yang sudah sangat dikenal luas yakni; tahapan Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, dan Bhiksuka. Ketika awal bertemu Kenyem, ada di ruang waktu tahapan Bramacari Asrama, jenjang mencari ilmu.

Ruang waktu yang lebih luas perjalanan jagat semesta yang konon diawali mahacahaya terang menderang dipenuhi radiasi dan ruang yang sepenuhnya berisi zarah. Kemudian proses berikutnya tumbuh kantong-kantong kecil gas yang muncul dari sedikit ketidakseragaman. Semiliar tahun kemudian distribusi zarah menjadi bergumpal-gumpal menjadi bintang gemintang, planet, bumi, triliunan galaksi dan seterusnya. Begitulah kehidupan adalah sebuah perjalanan semesta yang mahaluas sampai partikel terkecil sekalipun. Di tengah-tengah kehidupan tersebutlah di hadapan kita seorang Kenyem, melalui ekspresi artistiknya yang dapat kita baca telah berapa langkah melakukan perjalanan? Dia merupakan bagian dari sejarah yang terus menggelinding.

*Perjalanan 1, 2, 3, 4 Awal*
Awalnya adalah perjumpaan saya dengan Kenyem pada 1992. Rupanya ketertarikan yang sama terhadap ekspresi visual menjadikan STSI Denpasar kala itu (kini menjadi ISI Denpasar) sebagai bagian perjalanan kami. Muda belia di lapangan seni rupa, tetapi kami merasakan energi setinggi langit dan melampaui sekat tembok-tembok formal. Kami menjadi sekumpulan mahasiswa garang yang entah mau dilahirkan sebagai apa, karena kami pada saat itu angkatan pertama STSI Denpasar.

Kami merasa sangat istimewa, digembleng dosen yang datang dari berbagai penjuru, alumnus sejumlah kampus seperti Nyoman Tusan (ITB), Nyoman Gunarsa (STRI Yogyakarta), Pande Gde Supada (STRI Yogyakarta) --ketiganya almarhum-- diundang sebagai dosen terbang. Sedangkan dosen tetap pada saat itu juga alumnus dari berbagai perguruan tinggi seperti FSRD Universitas Udayana dan ISI Yogyakarta.

Kenyem mengenyam pendidikan seni rupa di SMSR Ubud angkatan 1988, tamat pada 1992, dan melanjutkan ke STSI Denpasar. Perjalanan awal Kenyem di dunia perupaan, ya, dimulai dari SMSR itu. Tubuh dan ruh-nya ditempa untuk mengenal, memahami, dan melakoni bahasa rupa. Di STSI Denpasar lebih dimatangkan lagi dengan proses untuk menemukan ideologi bahasa rupa. Semasih mahasiswa, sambil mengeja setiap ilmu di ruang kelas, kami kerap keluar kampus menjajal pergulatan sebagai perupa di ruang publik.

Serupa sekawanan tentara, kami angkatan pertama seni lukis STSI Denpasar 1992 berasal dari SMA, STM, dan SMSR. Seluruhnya berjumlah 40 mahasiswa dan menyusun strategi untuk memperoleh pengakuan. Kami pun membangun Kesatuan Mahasiswa Seni Rupa (Kamasra). Inilah komunitas yang menjadi rumah kami sebagai benteng, kendaraan, dan bendera saat kami beraktivitas. Kamasra didirikan pada 1993. Mahasiswa seluruh angkatan menjadi bagian, termasuk aku dan kenyem. Otomatis adik-adik angkatan menjadi anggota Kamasra.

Demikianlah, Kamasra menjadi wadah untuk menunjukkan hasil karya tempaan STSI kepada khalayak luas. Kamasra kemudian menjadi trademark anak-anak seni murni (lukis dan patung) serta kriya. Kemudian muncul kelompok-kelompok kecil, tetapi tetap mengusung nama Kamasra di belakangnya.

Menandai perjalanan Kamasra yang semakin bertambah jumlah anggota setiap tahunnya, kami membuat peristiwa pameran dengan dibarengi penghargaan karya terbaik (Kamasra Prize) sebagai upaya memberikan apresiasi terhadap artistik kepada mahasiswa yang memenuhi kreteria pencapaian konsep dan karya. Kenyem adalah salah satu yang memperoleh Kamasra Prize pada 1996. Secara epistemologi Kenyem telah menemukan perspektif artistikyang kemudian menjadi pijakan sudut pandang kekaryaan berikutnya.

*Perjalanan 7, 8, 9*
Dalam perjalanan berikutnya, tumbuh kesadaran baru dalam penghadiran kaya seni ke ruang publik. Artistik sebagai struktur formal dari bahasa rupa merupakan implementasi dari reduksi gagasan serta pernyataan individual seorang perupa. Bahasa rupa sesungguh-sungguhnya sebagai medium untuk menyampaikan pesan-pesan ideologis perupa. Saya bersama Made Suta Kesuma, Nyoman Sujana Kenyem, dan Ketut Susena intens bertemu untuk menggodok kelompok empat. Kami menamainya “Mandala of Life” yang kebetulan konseptual nama awal kami dengan nama depan orang Bali yakni Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut. “Mandala of Life” mempresentasikan karya pada sebuah pameran di Art Center pertengahan 1996. Bersamaan itu muncullah komunitas-komunitas baru bagai bunga tumbuh mengiasi seni rupa Bali, seolah mengejar nama Sanggar Dewata yang telah tinggi berkibar sejak 1970-an.

Kemudian, untuk mewadahi bentuk-bentuk seni lintasbatas, kami membentuk komunitas “Sangga Buana” yang merangkul seluruh mahasiswa seni murni serta kriya STSI Denpasar angkatan 1992-1999. Projek pertama yakni menggelar kemah seni di Pulau Serangan, Denpasar pada 2000. Kami menggelar karya seni instalasi untuk merespons lingkungan di kawasan pulau yang telah direklamasi lebih dari 300 hektar.

Dari siklus air laut, kualitas fisik, lingkungan sosial, ekonomi dan budaya warga Pulau Serangan mengalami perubahan. Sejauh mana perubahan tersebut menjadi tujuan peroyek seni luar ruang ini. Kajian riset diawali dengan memanfaatkan benda temuan sebagai medium artistik. Angkatan 1992 menjadi motor penggerak dalam aktivitas ini. Sebagian memang telah menamatkan jenjang kesarjanaan dan menjadi ‘amazing artist’ termasuk di dalamnya Kenyem.

Begitulah, semakin bertambah pengetahuan kian mengubah sudut pandang, semakin bertambah usia pun mengubah kebutuhan biologis dan psikologis Kenyem muda yang melepas jenjang Brahmacari menuju Grhastha (tingkat kehidupan berumah tangga). Saya belum mengkaji lebih dalam dimulai dari mana lompatan artistik pada jenjang Grhastha yang menandai perjalanan berikutnya dari seorang Kenyem.

Setiap langkah yang disemai di lapangan peristiwa seni menciptakan kepercayaan diri.Kenyem pun menyadari bahwa konsep artistik seni adalah anak kandungnya sendiri. Setiap kelahiran adalah satu jenjang langkah hidup yang terus berafiliasi dengan kebutuhan psikisnya. Di ranah dunia pendidikan, tahapan pencapaian diukur dari 1 sampai 9 jenjang. Pada realitas kehidupan nyata, bergantung seberapa intens seorang perupa menggali hutan belantara lapangan seni.

Setiap penggalian tentu mengasilkan sumur seperti halnya setiap eksplorasi artistik mengasilkan bahasa rupa baru. Setiap eksplorasi seni adalah pemberontakan, menjadi seniman, menciptakan karya seni dengan demikian adalah memberontak. “Pemberontakan adalah kreativitas,” sebut Albert Camus. Karena itu, sesungguhnya kita dapat menakar langkah-langkah perjalanan Kenyem melalui artistik yang telah dilampaui. Memberontak dalam dirinya sendiri.

Waktu begitu cepat berlalu, hampir lima tahun saya tak bertegur sapa, berbincang tentang berbagai hal, karena kesibukan masing-masing. Kenyem memenuhi kodratnya, melanglang ke seluruh penjuru, mengabarkan hasil kreasinya. Sesekali ia menarik orang-orang ke studionya. Kalau dihitung dua kali sembilan perjalanan yang telah ia lampaui, apakah kini Kenyem telah mencapai jenjang kedelapanbelas?

Barangkali di luar kesadaran, figur-figur repetitif yang acapkali dibuat Kenyem di setiap komposisi lukisannya malah bukanlah subjek, karena judul-judul karyanya mengacu pada latar figur repetitif itu. Atau sebaliknya, Kenyem sedang menyembunyikan kesendirian di balik tumpahan warna-warni yang bersimulakra menjadi hutan, bukit, lorong, ataupun pusaran angin.tentu bukan sebuah kebetulan Brayut pupuh sinom Tikus Kapanting, dituliskan pengarang, diceritakan Men Brayut memiliki 18 anak. Pada akhir cerita anak-anak tersebut tumbuh menjadi manusia budiman. Kemudian Pan Brayut dan Men Brayut menjalani jenjang Wanaprastha yang akhirnya mencapai Bhiksuni.

Apapun itu, karya Kenyem sedang menyampaikan sesuatu. Karya yang ditampilkan dalam pameran Taxidi 18 adalah salah satu bagian serangkaian perjalanan yang cukup panjang. Ekspresinya merupakan persepsi dan impresi estetis. Kenyem sudah berkali-kali berhasil membekukan momen-momen estetis yang terjadi dalam dirinya. Kini, mari kita sapa Kenyem, melalui karya-karyanya.

Lepang, 18 Januari 2020
Suklu