Tinjauan Kritis Dolorosa Sinaga oleh: IACC ADMIN | Seni Rupa | 9 Tahun lalu
Tinjauan Kritis Dolorosa Sinaga Untuk Pameran BUMI BUAT GENERASI JINGGA*
Tentang karya Andreas Iswinarto
Tujuan seni, betapapun, bukan mengubah keadaan – keadaan sudah berubah sendiri dari waktu ke waktu. Fungsi seni lebih pada menunjukkan, membuat dapat dilihat kenyataan yang pada umumnya tidak dilihat (Boris Groys)
Andreas tidak pernah sekolah ilmu seni rupa secara formal. Sekian tahun belajar ilmu ekonomi hanya untuk mengatakan bidang ini menjemukan dan memilih bergabung dalam gerak reformasi. Bekerja di Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) selama 10 tahun. Sampai kemudian dia menyadari komunikasi masyarakat membutuhkan peran seni. Program penyuluhan, advokasi pemberdayaan dan penyadaran masyarakat atas isu dan permasalahan lingkungan hidup dapat disampaikan dengan jalan budaya melalui ekspresi seni rupa yang ternyata lebih mudah dipahami. Sejak tiga setengah tahun lalu dia mulai melukis, berinisitatif menyiapkan gambar untuk kampanye setahun tentang isu hak asasi manusia dan keadilan sosial. Ledakan kreatif itu telah lahir dan mengubah dirinya, memperluas pergaulan dengan berkisar di antara orang seni rupa, menonton pameran seni lukis, sesekali menulis pengamatan atas karya seni lukis yang dilihatnya di ruang pameran.
Bagi orang yang tak pernah sekolah seni rupa tapi memiliki kemampuan mengamati masalah ekspresi serta memahami peran sosial penciptaan seni rupa, menurut saya sangat membesarkan hati. Karena apa, karena belum tentu kesadaran dan pengetahuan akan pentingnya peran seni di masyarakat dipahami oleh mahasiswa senirupa program S1.
Malam ini kita melihat sejumlah karya Andreas dipamerkan. Ada karya diatas kertas dan juga kanvas. Menurut pengakuannya bekerja diatas kanvas merupakan pengalaman baru baginya, namun menyenangkan katanya. Dikerjakan dalam ukuran kanvas yang berbeda-beda, mungkin untuk menguji kemampuannya menguasai ruang atau biasa disebut bidang gambar. Dia menjadi aspek penting karena bidang gambar membatasi kebebasan berkarya. Sekuat apapun kebebasan dan kemerdekaan dikumandangkan oleh seniman, dalam ekspresi seni lukis dia terpenjara oleh ukuran ruang yang menyadarkannya bahwa kemerdekaan dan kebebasan itu ternyata ada batasnya dan seniman memilih sendiri berapa besar ukuran ruang penjara yang diinginkannya. Tapi dalam sejarah perkembangan seni rupa di pusat penjara inilah lahir revolusi piktorial Picasso, Boogie Woogie Pit Mondrian yang mencampakkan semua yang bersifat pesan moral dari kanvasnya hanya kembali ke hakekat dasar seni lukis yaitu garis dan warna.
Malam itu dia datang kerumahku dengan minat memamerkan karyanya. Ruang tamuku yang sempit itu seketika didominasi oleh sejumlah ekspresi emosi yang membahana tumpah dan menyedot perhatian.
Setiap karya punya cerita sendiri. Secara rinci dan penuh antusiasme dia jelaskan objek yang dilukisnya apa pentingnya ia ada di bagian bawah bidang gambar atau diatas, mengapa dibeberapa lukisannya selalu muncul bentuk bundaran, yang menurut dia bisa disimpulkan sebagai bulan atau matahari tergantung penonton. Di beberapa lukisannya ada sosok manusia, bentuk manusia itu jelas bukan produk sekolahan, namun walaupun dia belum fasih menggambar manusia caranya melukiskan manusia menarik untuk diperdebatkan. Manusia bisa digambar sesuai kanon idealisme keindahan tubuh versi Yunani yang diteruskan ke peradaban Romawi, Renaissance, hingga kini sebagai patokan teori anatomi dalam menggambar tubuh manusia di semua sekolah seni. Tapi tak boleh kita abaikan bahwa dalam pengetahuan sejarah sejak awal peradaban manusia konsep penggambaran tubuh manusia itu telah diwujudkan melalui proses representasi. Lihat saja lukisan di gua-gua, manusia digambarkan terdiri dari garis lurus dan vertikal, berlari dengan lembing ditangan mengejar binatang untuk makanannya.
Manusia Andreas dimunculkan dalam konsep representasi. Kita tidak menemukan drama realistik bentuk anatomi seperti yang dilakukan Michelangelo atau Rodin atau sensasi realistik penggambaran manusia dalam lukisan John Del Maria dimana karyanya tak beda dengan manusia nyata, seperti baru saja melalui proses kloning yang mencemaskan dunia. Manusia Andreas dikembalikan kepada kerangka dari bentuk lidi, hanya berbentuk garis, atau sapuan kuas yang tebal, tanpa keinginan untuk menata tulang dan otot seturut teori anatomi yang benar. Yang penting kita bisa mengenalnya. Perlakuan yang sama kita temukan di karya yang menceritakan bagaimana upaya kaum perempuan mempertahankan hutan sebagai bagian dari hidupnya agar tak hilang dengan cara mengelayuti pohon atau memeluk gunung. Bentuk sosok perempuan yang banyak jumlahnya sekilas terdeteksi seperti motif atau pola bentuk yang berulang . Ketika anda menatapnya sekali lagi dan memperhatikan dengan seksama maka anda akan menemui mereka yang ada disana dan memahami apa dan mengapa mereka melakukannya. Andreas menggambar semua objek atau bentuk yang dia kenal yang mewujud sesuai sesuai dengan persepsinya. Tengoklah kembali bagaimana dia melukiskan manusia dalam karyanya, melukiskan rumah, para petani yang berjejer panjang seperti rantai massa. Kecenderungan yang sama juga berlaku pada warna. Hampir semua lukisan Andreas memperlihatkan eksekusi warna untuk membangun suasana yang dia inginkan, sebutlah suasana emosional yang dia rasakan, termasuk menghadirkan efek dramatis warna pada lukisan tertentu.
Modal Andreas yang paling menonjol adalah emosi dan empati. Sangat bertolak belakang dengan jenis emosi ketika dia menghadapi teori kalkulus yang berbasis resiko dan keuntungan. Kini, ada emosi lain yang harus dia sampaikan kepada kita dengan sapuan kuas dan warna untuk menunjukkan bagaimana dia menggambarkan keberpihakannya pada nilai-nilai kemanusiaan. Kepada nasib kaum petani dan buruh yang tak kunjung sejahtera hidupnya di negeri yang kaya raya ini. Kepada kaum perempuan yang jadi budak di negeri orang dan dianiaya oleh majikannya sampai terkapar mati, pada perempuan korban kekuasaan represif Negara. Kepada masyarakat minoritas yang menjadi objek kesewenangan nilai-nilai dominan dalam masyarakat. Pun kepada perjuangan gerakan lingkungan hidup.
Kenyataan pahit lainnya yang masih dalam isu lingkungan hidup adalah melihat apa yang terjadi di Papua. Perut bumi Papua menganga lebar karena dikeruk isinya, emas dan uranium. Saya pernah membaca di media cetak bahwa kawah cerukan emas terlebar di dunia ada di Indonesia. Coba bayangkan berapa keuntungan yang telah dihisap oleh Amerika dari negeri ini. Sementara itu penduduk aslinya pewaris sah kekayaan bumi Papua kian terancam dan terpuruk hidupnya. Perusakan dan perampokan alam juga terjadi di Kalimantan. The Green Ceiling of Indonesia dulu dikenal sebagai paru-paru dunia, sebagai rantai penyeimbang dampak pemanasan bumi kini sudah gundul. Disisi lain nilai kemanusian dilecehkan dan dipertontonkan di televisi. Kita melihat antrian orang berjejal panjang saling menghimpit dan berdesakan, ada yang terjatuh dan terinjak pula hanya untuk mendapatkan uang 20 ribu rupiah dan pemandangan ini dipertontonkan setiap tahun di televisi.
Negeri macam apa ini?
Pesan moral apa yang sedang diajarkan negeri ini kepada rakyatnya?
Di era reformasi ini semakin banyak pejabat Negara, wakil rakyat ditingkat kabupaten, propinsi dan daerah istimewa yang ditangkap karena mencuri uang Negara. Bukan hanya pejabat Negara, kasus cicak-buaya –rekening gendut polisi- menyatakan ke publik bahwa institusi penting di negeri ini, polisi dan tentara pun sudah tak punya moral dan etika karena jadi bagian dari jaringan korupsi yang merugikan kas Negara. Rakyat makin miskin, sedangkan pejabat negara, polisi, tentara, hakim semakin kaya raya.
Kenyataan diatas membuat semua orang menjadi geram dan marah. Pemerintah tak peduli atas kesejahteraan rakyatnya. Coba tengok apa yang terjadi pada saudara kita yang tinggal di batas negara. Mereka harus mempertahankan hidup dengan cara mencari pekerjaan di negeri tetangga berjarak 100 meter dari batas negerinya. Tapi inti soalnya adalah pemerintah Indonesia abai mengurus hidup rakyatnya sendiri. Kenyataan ironis yang harus mereka telan sampai mati.
Di lukisan Andreas saya melihat kenyataan ironis itu. Semua emosi dan empatinya pada keadaan buruk negeri ini tumpah menggelontor keatas kertas dan kanvasnya. Walau tak tampak nyata impresi itu, karya Andreas bisa di klaim memiliki kekuatan daya representasi, suatu pendekatan ekspresi yang juga diklaim oleh garda kontemporer sebagai hak otonomi karya. Karya Andreas dalam hakekatnya memiliki semangat ini. Tesis otonomi karya diperkuat oleh pernyataan Groys yang mengatakan bila seni mengesampingkan kemampuan otonomnya untuk secara artifisial memproduksi pembedaan diri, hilang pula kapasitasnya untuk secara radikal mengkritik masyarakatnya.
Menutup tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa Andreas telah menemukan media seni lukis yang membebaskan dirinya dari luapan emosi kemarahan sekaligus menjadi wahana mengusung wacana aktivismenya dalam medan seni rupa. Jejak emosi itu membentuk identitas ekspresinya. Coba perhatikan sapuan kuasnya yang sangat tekstural. Hampir semua karyanya memperlihatkan jejak sapuan kuas yang kuat, kadang tampak sebagai imaji atau bentuk, menjadi ritme yang spontan tidak teratur, emosinya berselancar mengejar efek dramatis dan juga membentuk atmosfir yang ingin dia hadirkan. Saya bisa membayangkan bagaimana dia bekerja menata emosinya kedalam warna, kedalam bentuk, kedalam ruang, dan berhasil membentuk kualitas tekstur ekspresif. Sangat ekspresif seakan memiliki kekuatan gerak yang menabrak imaji yang telah ada, atau menyembunyikannya bahkan menghilangkan yang ada. Dalam hati saya bertanya apakah dia sedang menawarkan suatu nilai metafora dalam karyanya?
Karya seni terbuka bagi kerja interpretasi. Malam ini karya Andreas memberi peluang bagi kita untuk melakukannya. Untuk itu saya pribadi menyampaikan penghargaan atas upaya dan terlebih lagi atas keyakinannya pada seni untuk mengungkap kebenaran. Art is a lie that realizes the truth, kata Picasso.
Dolorosa Sinaga
Dosen Fakultas Seni Rupa IKJ, pematung dan perupa tinggal di Jakarta
Garuda, Pinangranti-Jakarta
23 September 2013.
|